Undang-undang partai politik (UU Parpol) disahkan DPR pada 6 Desember 2007. Pengesahan UU itu menuai protes keras berbagai kalangan. Di antaranya soal syarat pendirian parpol yang semakin ketat menyebabkan politik berbiaya tinggi.
UU itu juga dinilai semakin memperburuk pendanaan parpol karena longgarnya pengaturan keuangan. Parpol dituding tidak belajar dari berbagai skandal publik selama ini. Longgarnya aturan keuangan, di satu sisi, akan melanggengkan praktik pendanaan parpol yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Di sisi lain, hal itu semakin menguatkan oligarki elite parpol.
Kelemahan pengaturan soal keuangan parpol dapat dilihat dari lemahnya pencatatan dan pelaporan, tingginya batasan sumbangan untuk sumbangan individu dan badan hukum/perusahaan, pembengkakan besaran subsidi tanpa disertai rumusan kinerja keuangan, serta lemahnya pengawasan dan rendahnya sanksi atas pelanggaran pasal-pasal keuangan.
UU Parpol juga memberi keleluasaan dalam pengelolaan keuangan menjadi urusan internal parpol. Hal ini dapat memicu parpol bertindak ’semau gue’ tanpa ada batasan pengaturan yang jelas.
Secara umum, UU Parpol yang baru tidak memberikan penyelesaian atas berbagai permasalahan yang muncul terkait keuangan parpol. UU ini lebih mundur dalam pengaturan keuangan dibanding UU sebelumnya (UU 31/2002) dan dapat penghambat upaya perbaikan parpol ke depan.
Sumbangan
Tingginya batasan (plafon) sumbangan dapat memunculkan kooptasi penyumbang terhadap kebijakan parpol. Pasal 35 UU ini mengatur batasan jumlah sumbangan dari perseorangan dan badan hukum/perusahaan masing-masing menjadi Rp 1 miliar dan Rp 4 miliar. Angka ini meningkat lima kali lipat dibanding UU Parpol sebelumnya, yaitu untuk individu dan badan hukum/perusahaan masing-masing hanya Rp 200 juta dan Rp 800 juta.
Besarnya peningkatan plafon sumbangan menyebabkan dana parpol dimungkinkan dimonopoli oleh segelintir penyumbang besar. Sebagai contoh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang melaporkan ke KPU penerimaan total sumbangan Rp 25 miliar (per 31 Desember 2005) hanya membutuhkan tidak lebih dari tujuh sumbangan perusahaan atau 25 penyumbang perorangan. Juga Partai Golkar yang pada periode yang sama melaporkan total sumbangan Rp 13,6 miliar.
Fakta itu memungkinkan parpol dikuasai pemodal besar secara keuangan. Kooptasi akan menyebabkan elite parpol lebih menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk memuluskan kepentingan penyumbang dibanding kepentingan konstituen.
Hal lain yang mengkhawatirkan ialah tak adanya batasan sumbangan individu dari anggota parpol (Pasal 35 ayat 1). Tidak adanya batasan sumbangan internal sangat memungkinkan parpol dikuasai hanya oleh orang-orang kaya, bahkan dapat memunculkan skandal di kemudian hari.
Praktik membeli nominasi (candidacy buying) seperti sumbangan kandidat untuk mendapatkan tiket parpol terkait pencalonan pemilihan kepala daerah. Juga pencalonan untuk kandidat DPR/DPRD di dalam pemilu legislatif diperkirakan semakin marak terjadi di kemudian hari.
Subsidi
Dalam pengaturan UU Parpol yang baru, subsidi untuk parpol dari anggaran negara diperkirakan meningkat tajam. Pasal 34 ayat (3) undang-undang ini mengubah model subsidi dari sumber APBN atau APBD dari awalnya diberikan secara proporsional per kursi anggota DPR/DPRD menjadi berdasarkan jumlah perolehan suara. Pengaturan itu kembali seperti halnya pengaturan subsidi di dalam UU Parpol 1999 (UU No 2/1999).
Dengan adanya perubahan asumsi pemberian subsidi ini, dana negara yang harus dialokasikan untuk parpol dapat meningkat minimal sepuluh kali lipat.
Dengan aturan lama, parpol di tingkat nasional menerima total besaran subsidi Rp 13,5 miliar untuk 550 kursi di DPR sekarang ini. Dengan asumsi satu suara sah dinilai Rp 1.000 (minimal sama dengan Pemilu 1999), untuk total 113,5 juta suara akan membutuhkan subsidi Rp 113,5 miliar (kajian Seknas FITRA).
Bahkan, angka itu masih akan melonjak drastis jika setiap tingkatan parlemen baik provinsi maupun daerah harus disubsidi dengan perhitungan yang sama dari anggaran daerah.
Besarnya nilai subsidi negara untuk parpol di Indonesia tidak ideal. Ini karena parpol lemah dalam menghimpun iuran anggota. Seharusnya jumlah subsidi tidak boleh melampaui iuran anggota. Besarnya subsidi menyebabkan ketergantungan. Dampak krusialnya akan memangkas daya kritis parpol terhadap pemerintah.
Akuntabilitas
Hal krusial lain yang patut disoal adalah sistem pertanggungjawaban keuangan. UU Parpol yang baru tidak lagi mensyaratkan adanya laporan berkala kepada KPU. Selain itu, audit eksternal oleh akuntan publik juga ditiadakan sehingga akan berimplikasi pada model pencatatan dan pelaporan parpol. Tanpa adanya kewajiban audit, pencatatan dan pelaporan keuangan parpol akan dibuat semaunya.
Selama ini hambatan utama dalam mendorong akuntabilitas parpol adalah pada penciptaan tertib keuangan. Parpol tidak memiliki standar pencatatan, pelaporan, dan audit sehingga laporan tahunan parpol ke KPU kian tahun kian buruk, baik dari jumlah laporan maupun kualitasnya. Hal itu diperparah dengan aturan dalam UU Parpol baru yang menggeser urusan standar pengelolaan keuangan ke dalam aturan internal parpol lewat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parpol (Pasal 39).
Hal itu sangat memungkinkan parpol membuat model pencatatan keuangan sendiri tanpa standar.
Lemahnya pengaturan dana parpol sangat krusial jika melihat posisi parpol yang sangat berpengaruh dalam kebijakan publik. Peran parpol terancam sebagai salah satu elemen demokrasi penting. Kooptasi terhadap parpol akan menguatkan oligarki elite parpol dan merusak sistem representasi dan demokratisasi internal. Di sisi lain, rendahnya akuntabilitas akan memicu mengalirnya dana tidak jelas ke parpol.
No comments:
Post a Comment